Halo, teman-teman!
Hari ini aku ingin berbagi cerita tentang hari terakhir aku minum ASI dari bunda. Sejak aku lahir, ASI selalu menjadi makanan dan minuman terbaikku. Rasanya hangat, nyaman, dan selalu membuatku tenang. Setiap kali aku ingin tidur atau merasa tidak enak badan, aku nenen. Aku merasa dekat dengan bunda saat menyusu, mendengar detak jantungnya, dan merasakan pelukannya.
Tapi bunda bilang, aku sudah besar dan sudah waktunya aku berhenti nenen. Aku tidak langsung berhenti begitu saja, karena bunda ingin aku melepas ASI dengan cara yang baik, tanpa paksaan, tanpa kebohongan.
Banyak anak yang disapih dengan cara tiba-tiba. Ada yang diberi warna merah di puting bunda supaya terlihat berdarah, ada yang diberi rasa pahit dari brotowali, atau bahkan langsung dilarang nenen tanpa diberi pengertian. Tapi bunda tidak mau melakukan itu kepadaku. Bunda ingin aku berhenti nenen dengan tenang, tanpa takut dan tanpa bingung.
Bunda memilih cara yang lembut, yaitu mengurangi sedikit demi sedikit, sampai aku siap benar-benar berhenti.
Bunda Mulai Mengurangi Durasi Nenen
Awalnya, aku bisa nenen kapan saja aku mau. Tapi bunda mulai mengatur waktunya.
“Sekarang kita nenen pagi saja ya,” kata bunda.
Aku masih bisa nenen, tapi tidak sesering dulu. Saat aku ingin lebih lama, bunda mengajakku bermain atau memberiku makanan dan minuman lain.
Setelah beberapa minggu, bunda mengurangi lagi menjadi dua kali sehari, pagi dan malam sebelum tidur. Aku mulai terbiasa meskipun kadang aku masih ingin lebih sering. Tapi bunda tetap sabar dan terus mendampingiku.
Bunda juga memberiku susu sapi murni. Sebelum aku disapih, bunda sudah memberiku susu sapi, tapi saat proses penyapihan, susu sapi ini semakin sering diberikan kepadaku. Rasanya berbeda dengan ASI, tapi tetap enak dan menyehatkan.
Saat aku ingin nenen, bunda sering berkata, “Kita minum susu sapi dulu ya.”
Lama-lama, aku mulai terbiasa minum susu sapi dari gelas.
Tertunda Karena Aku Sakit
Saat bunda mulai mengurangi lagi, aku tiba-tiba jatuh dan bibirku berdarah. Rasanya sakit sekali, dan aku jadi susah makan. Bunda kasihan kepadaku, jadi bunda menunda menyapihku. Aku masih boleh nenen supaya aku tetap mendapat asupan makanan dan merasa nyaman.
Tidak lama setelah itu, aku sakit flu dan demam. Badanku lemas dan aku tidak nafsu makan. Bunda bilang, ASI adalah obat alami untukku.
“Sekarang nen bukan untuk makan, tapi supaya kamu cepat sembuh,” kata bunda.
Aku jadi lebih sering nenen lagi, karena badanku tidak enak. Aku merasa tenang dan perlahan-lahan tubuhku mulai membaik.
Setelah aku sembuh, bunda kembali mengurangi nenenku lagi. Aku mulai terbiasa nenen hanya sekali sehari.
Hari Terakhir Aku Nenen
Hari itu adalah hari Jumat sore, tanggal 14 Februari. Aku nenen seperti biasa. Aku merasa nyaman di pelukan bunda, mendengar detak jantungnya, merasakan kehangatannya. Tapi aku tidak tahu kalau ini akan menjadi kali terakhir aku nenen.
Setelah hari itu, bunda benar-benar menghentikan nenenku.
Aku masih ingin nenen. Selama tiga hari pertama, aku sering menangis dan meminta nenen.
Tapi bunda tetap sabar. Bunda tidak marah, tidak menolakku dengan kasar. Bunda mendampingiku, memelukku, mengusap punggungku, dan berbicara dengan lembut.
“Sekarang kita sudah tidak nenen lagi ya, Nak. Tapi kamu bisa makan dan minum yang banyak supaya tetap sehat.”
Bunda selalu memastikan aku cukup makan dan minum. Selain air putih, bunda juga memberiku susu sapi murni agar aku tetap mendapatkan nutrisi yang cukup.
Setiap kali aku ingin nenen, bunda menawarkan segelas susu sapi. Lama-lama, aku mulai menerima bahwa sekarang aku minum susu dari gelas, bukan dari bunda lagi.
Pesan dari Bunda: Nenen Bunda Habis
Pada hari ketiga setelah aku berhenti nenen, aku masih meminta kepada bunda. Tapi kali ini, bunda berkata dengan lembut,
“Nak, sekarang nen bunda sudah habis.”
Aku menatap bunda. Aku mencoba memahami kata-katanya. Aku masih kecil, tapi aku mulai mengerti.
Bunda lalu meminta aku untuk menyampaikan pesan ini kepada ayah.
“Coba bilang ke ayah, ‘Ayah, nen bunda habis,’” kata bunda.
Aku menirukan kata-kata bunda dengan keterbatasan bicaraku. Saat ayah pulang kerja, aku segera menghampirinya dan berkata,
“Ayah… nen bunda habis.”
Ayah tersenyum dan memelukku. Aku merasa bangga bisa menyampaikan pesan itu. Dan sejak saat itu, aku mulai benar-benar mengerti bahwa aku sudah besar, sudah waktunya aku berhenti nenen.
Aku Sekarang Sudah Besar!
Setelah beberapa hari tanpa nenen, aku mulai terbiasa. Aku sudah tidak menangis lagi saat ingin nenen. Aku mulai menikmati makanan dan minuman lain. Bunda selalu memastikan aku tetap kenyang dan nyaman.
Aku merasa bangga karena aku sudah besar!
Meskipun aku tidak nenen lagi, aku tetap dekat dengan bunda. Aku tetap bisa dipeluk, dielus, dan ditenangkan oleh bunda kapan saja aku mau. Bunda selalu ada untukku.
Sekarang, aku sudah tidak perlu nenen lagi untuk merasa nyaman. Aku bisa bermain, makan, minum susu sapi, dan tidur nyenyak tanpa nenen. Aku tumbuh menjadi anak yang sehat dan kuat, berkat kasih sayang bunda dan ayah.
Terima kasih, bunda, karena sudah menyapihku dengan penuh kesabaran dan tanpa kebohongan. Aku bahagia karena bunda selalu jujur dan selalu ada untukku.
Kenapa Cara Bunda Itu Baik?
Bunda memilih cara yang lembut agar aku tidak merasa kehilangan dengan tiba-tiba. Bunda tidak ingin aku trauma atau merasa bingung.
Bunda tidak menggunakan cara seperti:
❌ Mengolesi puting dengan sesuatu yang pahit atau pedas.
❌ Memberi warna merah dan bilang kalau puting bunda berdarah.
❌ Tiba-tiba berhenti tanpa memberi pengertian.
Sebaliknya, bunda memilih cara yang lebih baik:
✅ Mengurangi durasi nenen secara perlahan.
✅ Mengalihkan perhatianku dengan makanan dan aktivitas lain.
✅ Menunggu waktu yang tepat, terutama jika aku sedang sakit.
✅ Memberi pengertian dengan lembut bahwa aku sudah besar dan tidak perlu nenen lagi.
✅ Mendampingiku dengan penuh kasih sayang saat aku merasa sedih.
✅ Memberiku susu sapi murni agar aku tetap mendapatkan asupan nutrisi pengganti ASI.
Cara ini membuatku lebih mudah beradaptasi. Aku tidak merasa kehilangan secara tiba-tiba. Aku merasa tetap diperhatikan dan disayangi, meskipun aku sudah tidak nenen lagi.
Teman-teman, apakah kalian juga pernah berhenti nenen seperti aku?
Semoga cerita ini bisa mengingatkan kita bahwa berhenti nenen adalah bagian dari tumbuh besar. Dan yang paling penting, kita harus selalu merasa dicintai oleh bunda dan ayah, dengan atau tanpa nenen.